Gadis-Gadis Pabrikan

Diterjemahkan dari Factory Girls, oleh John Seabrook (jurnalis Amerika yang sering menulis tentang teknologi dan budaya populer, penulis tetap The New Yorker sejak 1993), dalam rubrik Annals of Music edisi 8 Oktober 2012.

Saat itu pukul lima tepat di suatu Minggu pada bulan Mei, dua jam sebelum waktu pertunjukan, tapi sudah bergumul ribuan fans K-Pop membanjiri lapang terbuka di luar Honda Center, gelanggang besar di Anaheim, California. Penampil malam ini adalah beberapa grup pop terbesar di Korea Selatan—SHINee, f(x), Super Junior, EXO, TVXQ!, dan Girls’ Generation. Di Amerika Serikat, musik pop Korea hidup secara ekslusif lewat YouTube, di beragam video seperti “Gangnam Style,” dari Park Jae-sang, rapper yang lebih dikenal sebagai PSY, yang belakangan jadi viral. Pertunjukan di Honda Center merupakan kesempatan langka bagi fans K-pop untuk bisa melihat “idol,” sebutan para penampil itu, secara langsung.

K-pop adalah sebuah kombinasi Timur-Barat. Para penampil kebanyakan adalah orang Korea, dan irama gerakan tarian mereka yang tersinkronisasi, disertai sebuah telegrafi kompleks antara kedipan mata dan gestur tangan, memiliki rasa Asia, tapi musiknya terdengar Barat: lirik hip-hop, chorus Euro-pop, rap, dan hentakan dubstep. K-pop telah menjadi sebuah pelengkap dalam tangga lagu pop bukan hanya di Korea tapi di seluruh Asia, termasuk Jepang—pasar musik kedua terbesar di dunia, setelah AS—juga Taiwan, Singapura, Filipina, Hong Kong, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Korea Selatan, sebuah negara berpenduduk kurang dari lima puluh juta jiwa, entah bagaimana tahu cara melejitkan pop bagi satu setengah miliar orang Asia lainnya, menyumbang dua miliar dolar setahun untuk perekonomian Korea, seperti yang dilansir BBC. Konser K-pop di Hong Kong dan Cina daratan sudah sangat menguntungkan, dan tidak ada negara yang lebih baik pada posisi ini untuk menjual rekaman musik di Cina, pasar yang berpotensi besar, apalagi jika pembajakan yang sudah endemik diberantas. Namun, meskipun K-pop menonjol di Asia, sampai saat ini hanya segelintir di Amerika Serikat telah mendengar tentang hal ini. SMTOWN World Tour III, dinamai sesuai S.M. Entertainment, perusahaan musik Korea yang mensponsori tur global, berharap untuk mengubah hal tersebut, melalui sistem unik bernama “cultural technology.”

Di luar gelanggang, kelompok fans yang melakukan berbagai tarian: meniru gerakan kelompok idola favorit mereka. (tarian berkuda PSY, dari “Gangnam Style,” mungkin jadi semacam Macarena saat itu.) Orang-orang membawa beragam light stick dan beraneka balon, yang warnanya menandakan kesetiaan kepada satu atau beberapa grup idola. Kerumunan yang ada ternyata lebih tua ketimbang yang saya bayangkan, dan suasananya terasa lebih seperti sebuah konvensi video-game daripada konser pop. Sekitar tiga dari empat orang adalah Asia-Amerika, tapi ada juga beberapa Kaukasia dari segala usia, dan sejumlah perempuan kulit hitam.

Berdiri di samping saya adalah Jon Toth, seorang pria kulit putih dua puluh sembilan tahun, seorang ilmuwan komputer yang telah menghabiskan dua belas jam perjalanan langsung dari New Mexico. Toth adalah penggemar Girls’ Generation, sebuah kelompok idola yang beranggotakan sembilan gadis yang sedang dalam proses rekaman album debut Amerika, dengan Interscope Records. Pada saat ia secara tak sengaja menemukan Girls’ Generation, di YouTube, Toth adalah seorang pria penyuka alternative rock; ia mencintai Weezer. “Aku pasti bukan jenis pria yang Anda harapkan untuk bisa kepincut sama kelompok Asia beranggota sembilan gadis,” katanya. Tapi tak lama berselang Toth belajar Bahasa Korea, untuk memahami lirik dan juga acara TV Korea. Lalu ia mulai memasak makanan Korea. Akhirnya, ia melakukan perjalanan ke Seoul, di mana, untuk pertama kalinya, ia mampu melihat secara langsung konser para gadis itu—Tiffany, Sooyoung, Jessica, Taeyeon, Sunny, Hyoyeon, Yuri, Yoona, dan Seohyun. Itu adalah pengalaman yang mengubah hidup.

“Kau pikir kau sudah benar-benar mencintai mereka, tapi kemudian kau melihat Tiffany menunjuk langsung padamu dan mengedipkan mata, dan segala sesuatu yang ada di dunia serasa lenyap,” Toth menulis di Soshified, situs penggemar Girls’ Generation. “Kau pikir kau mencintai mereka, tapi kemudian kau melihat Sooyoung menatap tepat di matamu dan berkata dalam bahasa Inggris, ‘Thank you for coming.'” Toth menyimpulkan, “Saya tak tahu betapa aku mencintai gadis-gadis ini.”

Saya telah mengatur untuk bertemu Toth karena di suatu tempat saat menonton untuk kesepuluh kalinya video “Mr. Taxi”-nya SNSD dan klikan kedua puluh saya di “Gee”, saya sadar bahwa saya juga mungkin tidak tahu betapa saya mencintai gadis-gadis ini. “Listen boys,” Tiffany berbisik pada awal “Gee.” “It’s my first love story.” Dan kemudian dia memiringkan kepalanya ke samping dan mengedipkan matanya sembari tersenyum—kertak-kertuk tepat di sudut luar yang memberi pesan cintanya langsung padamu. Mengapa menonton “Mr. Taxi” menjadi semacam kesenangan audio-visual belaka? Mengapa tubuh saya terasa lebih ringan di atas kursi? Itu bukan hanya karena musiknya—yang terdengar riang dan semanis permen, layaknya Day-Glo—dan, sementara tariannya benar-benar mengagumkan, koreografinya memiliki kualitas skematis.

“Mereka tampak seperti pemandu sorak,” keponakan saya yang berusia dua puluh satu tahun mendesis di balik bahu saya satu hari ketika saya sedang melihat “Gee” lagi. “Paman Mesum!”

Tidak, ini tidak seperti itu. Bagi yang mesum, coba kelompok J-pop AKB48, sebuah ansambel gadis Jepang, dengan banyak anggota, yang, mempertontonkan siswi-siswi hanya dengan pakaian dalam pada video mereka di “Heavy Rotation,” perang bantal, saling cium, dan berbagi biskuit berbentuk hati dari mulut ke mulut. Girls’ Generation adalah grup perempuan muda berpenampilan seperti siswi sekolah atas dengan celana ketat. Ketika mereka memakai hot pants, itu untuk menampilkan kaki jenjang, bukan bokong.

“Mereka menerima perasaan cinta dari para fans untuk mereka sendiri, dan mereka mengembalikan balik pada fans,” Toth mengatakan kepada saya. “Ketika Anda melihat mereka di atas panggung, itu seperti mereka lah yang justru datang untuk melihat Anda.”

Saya jelas tampak skeptis.

“Tunggu saja,” katanya. “Anda akan percaya.”

*

“Hallyu” adalah istilah yang digunakan orang Asia untuk menggambarkan tsunami budaya Korea Selatan yang mulai membanjiri negara mereka pada pergantian abad kedua puluh satu. Drama TV Korea dan, pada tingkat lebih rendah, film Korea, bersama dengan musik pop Korea, menjadi pokok di pasar-pasar yang sebelumnya didominasi oleh Jepang dan Hong Kong. Menurut sarjana kultur pop Sung Sang-yeon, produsen TV Korea mempertetapkan dirinya selama krisis ekonomi Asia dari akhir tahun sembilan puluhan, menawarkan program yang lebih murah daripada acara yang dibuat di Jepang dan Hong Kong dengan kualitas yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara Asia lainnya yang bisa menghasilkan program acaranya sendiri. Sementara penyanyi dan aktor Korea masih muda-muda dan latar yang kontemporer, dengan tema mereka yang meliputi nilai-nilai tradisional keluarga, persahabatan, dan cinta romantis.

Pemerintah Korea telah mempromosikan hallyu, menggunakannya sebagai bentuk “soft power,” dengan membuat Korea Selatan sebagai Hollywood-nya Asia. Hallyu telah menghapus reputasi daerah Korea Selatan sebagai negara industri berkembang di mana segala sesuatunya berbau bawang putih dan kimchi, lalu menggantinya dengan gambaran kehidupan kosmopolitan yang sejahtera. Berkat mini-seri seperti “Winter Sonata,” sebuah drama romantis tahun 2002 yang menjadi hit besar di seluruh Asia, sekarang wanita Jepang setengah baya jatuh hati pada pria Korea, sementara mengeluh tentang laki-laki Jepang yang “loyo”—maksudnya, kurang jantan. Keturunan Korea yang sudah menjadi stigma di Jepang; sekarang jadi trendi. Melalui rumah-rumah, kesuksesan K-drama telah menarik wisatawan-wisatawan dari seluruh Asia untuk mengunjungi tempat-tempat yang digambarkan di layar.

Seperti K-drama, K-pop adalah campuran bukan hanya antara Barat dengan tradisional tetapi antara yang lama dengan yang baru. Musiknya menonjolkan komponen suara gaduh yang dibikin dengan synths terbaru dan gerakan tempo urban. Hook sering dinyanyikan dalam bahasa Inggris, dan kadang-kadang mengacu pada gerakan tari: berkemudi di “Mr. Taxi”; menggemetarkan pantat di “Bubble Pop.” Video menonjolkan latar yang royal dan produksi nomor besar yang mengingatkan pada video-video awal Madonna, sementara musiknya kadang-kadang terdengar seperti New Jack Swing—musik dansa delapan puluhan akhir yang dibuat oleh produser dan penulis lagu Amerika, Teddy Riley dan dipopulerkan antara lain oleh Michael dan Janet Jackson, Boyz II Men, dan Bobby Brown. Keseksian gadis-gadis namun dengan gaya sopan mengingatkan pada grup-grup awal enampuluhan—Shirelles, Crystals, dan Ronettes. Baik grup lelaki maupun perempuan dalam lirik dan videonya umumnya tidak mengacu pada seks, minum-minum, atau kelab malam—tema pencipta hit besar di Barat. Tentu saja, Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, sebuah lembaga negara, mengupayakan untuk menjaga agar anak-anak dijauhkan untuk mendengar atau melihat lagu dan video K-pop yang membuat referensi soal klabing. Saya berada di Seoul musim semi lalu ketika Lady Gaga tampil di Olympic Stadium, dan anak-anak di bawah usia delapan belas dilarang menyaksikan pertunjukan. (Beberapa artis mengajukan komplein. Misalnya, lagu dari idola K-pop Rain “Rainism” memperinci kegiatan “tongkat ajaib”-nya;. Lagu itu kemudian direvisi. Banyak artis menyensor sendiri, agar bisa menjangkau khalayak seluas mungkin.)

Di Seoul, kau dapat merasa K-pop di sekitarmu. Ada kehadiran konstan idol-idol pada billboard dan iklan display. Guntingan seukuran tubuh idol menyambutmu di pintu masuk pusat perbelanjaan besar. Di jalan-jalan dan di kereta bawah tanah kau bisa melihat gema dari wajah para idol. (Pada satu kesempatan, di lobi hotel, saya berjalan sampai mendapati apa yang saya pikir adalah potongan poster dari idol K-pop, hanya untuk menemukan bahwa itu adalah wanita asli, yang memberenggut kemudian pindah tempat.) Di Gangnam, distrik perbelanjaan mewah di sebelah selatan Sungai Han, arsitekturnya begitu mencolok bagaikan para idolnya.

Tiga agensi musik mendominasi industri K-pop. S.M. Entertainment adalah yang terbesar, diikuti oleh J.Y.P. Entertainment dan Y.G. Entertainment. (Inisial tersebut diambil dari nama-nama pendiri agensinya, semuanya adalah mantan musisi atau penari: Lee Soo-man, Park Jin-young, dan Yang “Gong” Hyun-suk, secara berurutan.) Agensi bertindak sebagai manajer, agen, dan promotor, mengendalikan setiap aspek dari karir seorang idol: penjualan rekaman, konser, penerbitan, dukungan, dan TV. S.M. dan J.Y.P. berada di Gangnam, dan selalu ada gerombolan gadis-gadis muda, sebagian besar orang Jepang, di jalan-jalan di luarnya, berharap untuk melihat sekilas satu dua idolanya (meskipun idol umumnya berpindah secara anonim saat melintas kota, dalam minivan dengan jendela gelap). Kedua set kantor secara mengejutkan berkondisi lusuh di dalamnya, dengan studio sempit dan dekorasi tampak usang. Y.G., di seberang sungai, memiliki banyak fasilitas yang lebih mewah, termasuk studio rekaman berisi beberapa barang seni dan enam belas staf di rumah produksi, di antaranya Teddy Park, yang menulis “Fantastic Baby,” untuk BIGBANG, dan sebagian besar musik untuk 2NE1, dua kelompok yang paling populer di Y.G..

Di J.Y.P., saya sempat bertemu Park Jin-young, pria empat puluh tahun tinggi atletis yang pernah menempuh pendidikan di AS. Dia berada di fasilitas latihan. Mengenakan pakaian olahraga, ia berada di tengah-tengah sesi dengan beberapa trainee, dan ia tidak bisa berhenti berbicara; ia menghilang ke dalam sebuah studio tari, di luar terlihat tumpukan sepatu anak-anak. Namun, saya bisa berbincang dengan kelima anggota Wonder Girls, grup perempuan paling sukses agensi tersebut. Dalam video mereka “Nobody”, mereka mengenakan gaun berkilauan dan tatanan rambut bob—jawaban Korea terhadap Supremes. Tanpa kostum dan tanpa riasan wajah, mereka hampir tak bisa dikenali. Mereka duduk di meja konferensi, dengan Sohee, yang tampak sangat lelah, duduk di tengah. Kami berbicara banyak tentang jet lag. Sunye, duduk di sebelah kiri Sohee, melihat jam di dinding, yang menunjukan pukul 5 sore. “Ini adalah hari terburuk!” keluhnya.


Agensi-agensi merekrut anak usia dua belas hingga sembilan belas tahun dari seluruh dunia, baik melalui audisi terbuka dan jaringan agen perekrut. Girls’ Generation, grup gadis yang dominan dalam beberapa tahun terakhir, memiliki dua anggota, Tiffany dan Jessica, yang lahir dan dibesarkan di California. (Anak laki-laki dan perempuan yang berbahasa asli Inggris atau Cina, biasanya asal Korea, dihargai lebih tinggi.) Tiffany, yang lahir di San Francisco dan dibesarkan di Los Angeles, direkrut saat berusia lima belas, saat mengikuti audisi dalam pertunjukan bakat, kemudian dibawa ke Seoul, di mana ia dilatih dalam sistem penciptaan-idol. Jessica, yang lahir di rumah sakit yang sama seperti Tiffany, ditemukan di Seoul pada usia dua belas. “Saya tidak benar-benar ikut audisi,” katanya. “Saya pergi ke Korea untuk mengujungi keluarga dari ayah saya, dan saya sedang belanja, dan salah satu agen melihat saya, dan mengajak saya dan saudara perempuan saya bersama-sama.” Adiknya, Krystal, masih berusia tujuh pada saat itu; sekarang dia anggota grup f(x). Di Seoul, baik Tiffany dan Jessica mengikuti sebuah sekolah internasional saat siang hari; sepulang sekolah, mereka melapor ke S.M., di mana mereka dilatih sampai pukul sepuluh, dan kemudian mereka harus melakukan pekerjaan rumah. Pelatihan Jessica berlangsung selama tujuh tahun.

Selain menyanyi dan menari, para idol belajar akting dan berbagai bahasa asing–Jepang, Cina, dan Inggris. Mereka juga menerima pelatihan media dan disiapkan untuk pengawasan intens yang akan mereka terima di Internet dari para “netizen” Korea, negara yang paling terkoneksi di bumi. (“Netizens Love Seohyun’s Aegyo Mark” seperti yang dinyatakan judul terbaru dari situs Web K-pop Soompi, mengenai titik keindahan kecil di sebelah kiri mata penyanyi.) Kecuali kau Jonas Brothers atau seorang Taylor Swift, mabuk di tempat umum, berkelahi, dan perilaku tak senonoh seringnya dapat meningkatkan reputasi seorang artis dalam peta musik pop Amerika; di Korea, berita akan rekaman seks atau tes positif ganja dapat menggelincirkan karir. Rata-rata, hanya satu dari sepuluh trainee yang berhasil sampai bisa debut.

Grup-grup yang disatukan oleh pimpinan-pimpinan agensi, berdasar pada hubungan kualitas individu dan kolektif. “Para anggota grup tidak harus benar-benar sama dan tak bisa dibedakan,” Melody Kim, seorang manajer komunitas di Soompi, mengatakan kepada saya, “tetapi mereka harus cukup melengkapi sehingga bersama-sama mereka membentuk kesatuan kohesif yang benar-benar hebat.” Debut grup-grup di salah satu dari banyak variety show musik yang diputar di TV Korea hampir setiap malam. Saya pergi ke salah satu siaran program musik Mnet “M! Countdown,” di mana grup-grup baru maupun yang sudah mapan menampilkan lagu-lagu terbaru mereka dan para penonton memilih favoritnya; saya teringat hari-hari ketika MTV benar-benar menayangkan musik.Jika idol berhasil, mereka sering diharapkan untuk mengolah album penuh setiap delapan belas bulan atau lebih dan mini album berisi lima lagu setiap tahunnya. Tangga lagu berubah dengan cepat, dan, karena kemudaan dan kebaruan adalah hal utama, grup yang didirikan biasanya tidak berlangsung lama: lima tahun adalah umur rata-rata seorang idol. (Beberapa idol memperpanjang karir mereka dengan berakting di K-drama.) Grup-grup baru muncul secara teratur; pada tahun 2011, sekitar enam puluh grup membuat debut, jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hanya sebagian kecil yang bertahan; sebagian besar akan memudar setelah beberapa lagu.

Pada tahun-tahun awal, Korean Wave tidak terasa begitu imperialistik untuk orang Asia lainnya ketimbang gelombang dari Cina yang pernah terjadi. Tapi baru-baru ini, di Jepang dan di beberapa bagian China, telah ada reaksi dari minoritas yang cukup nyaring, yang mungkin salah satu alasan bahwa agensi-agensi memilih mempromosikan grup-grupnya lebih tekun di Barat. Tahun ini, China mengesahkan undang-undang yang membatasi jumlah program acara asing yang dapat ditampilkan di TV Cina. Hallyu, jauh dari kesan buruk tampak sebagai ekspor jinak dari negara yang tak mengancam, sekarang sering digambarkan sebagai “invasi,” seolah-olah semacam mental nonsen Asia yang bakal menyumbat pikiran generasi muda.

*

Penampakan yang baik adalah investasi seorang artis K-pop. Meskipun beberapa idol adalah musisi, artis K-pop jarang memainkan instrumen di atas panggung. Yang mana bintang K-pop unggul dalam kecantikan fisik semata. Wajah mereka, dipahat, diukir, dan dibuat meruncing ke titik yang tajam ke dagu, gaya Na’vi, terlihat sangat berbeda dari wajah bulat datar sebagian besar orang Korea. Beberapa dilahirkan dengan struktur tulang ini, tidak diragukan lagi, tapi kebanyakan dapat mendapatkan ini hanya dengan bantuan operasi plastik. Korea sejauh ini merupakan pemimpin dunia dalam hal pendapatan per kapita, menurut The Economist. Operasi melipatgandakan kelopak mata, yang membuat mata terlihat lebih Barat, adalah hadiah paling umum untuk anak-anak yang mendapatkan nilai bagus pada ujian sekolah. Popularitas idol K-pop juga telah membawa “turis medis” dari Cina, Jepang, dan Singapura untuk berkunjung ke Seoul dalam rangka membentuk wajah mereka agar terlihat mirip seperti bintang Korea. Beberapa hotel telah bermitra dengan rumah sakit sehingga para tamu dapat memiliki prosedur satu pintu; Ritz-Carlton Seoul, misalnya, menawarkan delapan puluh delapan ribu dolar “paket kecantikan anti-penuaan.” Perempuan datang untuk membuat tulang pipi mereka disayat lalu menjalani “operasi rahang ganda,” di mana tulang rahang atas dan bawah dibuat terpisah dan direposisi, memberikan tengkorak tampilan yang lebih meruncing.

Gambaran Grand Guignol ini ada di pikiran saya di Anaheim, saat pertemuan pers dengan idol sebelum pementasan, yang berlangsung di ruang sempit memanjang di lantai ketiga Honda Center. Dua idol dari masing-masing enam grup yang bakal tampil hadir di sini. Mereka duduk di bangku tinggi di panggung kecil. Masing-masing mengenakan salah satu dari banyak kostum yang berbeda bahwa ia akan olahraga dalam pertunjukan selama empat jam. Wajah para lelakinya seolah-olah mirip kue panekuk dan dicat seperti perempuan, dan rambut mereka bahkan lebih rumit, diberi gel, dan dicelup, dengan warna pirang dan merah gula-gula. Beberapa orang mengenakan jaket setinggi pinggang dengan celana longgar harem atau jodhpur, gaya pemimpin sirkus; yang lain mengenakan cutaways putih dengan kerah kaku yang tinggi dan dasi hitam, seperti teman kencan impian. Mereka lebih androgini ketimbang Ziggy Stardust. Gadis-gadisnya mengenakan hot pants emas atau rok pendek, atasan gemerlapan, dan sepatu bot kulit berenda. Semua orang tampak sangat serius.

Setelah para idol duduk, seorang wanita muncul dengan tumpukan handuk olahraga berwarna putih. Dia memberikan satu untuk masing-masing idola wanita, untuk menutupi pahanya yang terekpos, sebagai bentuk kejatmikaan darurat. Saya duduk berlawanan dengan Sooyoung, dari Girls’ Generation, yang ramping berambut cokelat. Dia tampak berjarak dan dingin, seperti patung dalam sebuah gelas kaca.

S.M. telah menyiapkan pertanyaan untuk para idol, dan mereka membacanya keras-keras, dalam bahasa Inggris dan Korea, dengan pria suruhan S.M. yang mengelola prosesnya. Pertanyaan pertama, untuk dua anggota Girls, adalah: “Setiap kali kalian mengunjungi Amerika sepertinya kalian menerima cinta dan dukungan yang begitu gila. Apakah kalian merasakannya? Dapatkah kalian menjelaskan sambutan hebat dari penggemar kalian ini?”

Pertanyaan yang sama diajukan, dalam redaksi yang sedikit berbeda, untuk setiap grup. Dua perwakilan dari Super Junior, satu grup pria beranggota dua belas orang, ditanya, “Bagaimana kalian bisa selalu sukses menerima reaksi yang meledak-ledak dari para penggemar di seluruh dunia? Apa rahasianya?”

Salah satu anggota mengambil risiko memberi sebuah terkaan. “Mungkin itu karena penampilan kami yang begitu rupawan?”

*

Lee Soo-man, pendiri S.M.—orang di perusahaan merujuk kepadanya sebagai Ketua Lee—adalah master arsitek K-pop. Lee pensiun sebagai C.E.O. agensi pada 2010, namun ia masih memberikan bantuan dalam membentuk trainee-trainee menjadi grup-grup idola, termasuk yang terbaru dari S.M., EXO. Grup ini memiliki dua belas laki-laki, enam dari mereka berbicara Korea yang tinggal di Seoul (EXO-K) dan enam berbicara Mandarin, yang tinggal di Cina (EXO-M). Dua “subgrup” itu merilis lagu pada saat yang sama di negara dan bahasa masing-masing, dan mempromosikan mereka secara bersamaan, sehingga tercapai “lokalisasi sempurna,” sebut Lee. “Itu mungkin artis Cina atau sebuah perusahaan Cina, tapi apa yang penting pada akhirnya adalah kenyataan bahwa itu dibuat oleh cultural technology kita,” ia mengatakan. “Kami sedang mempersiapkan untuk pasar terbesar berikutnya di dunia, dan tujuannya adalah untuk menghasilkan bintang terbesar di dunia.” Tapi, sementara S.M. mendapat kredit karena menciptakan sistem serupa pabrik, grup idola ini dipandang oleh beberapa orang terlalu robotik untuk membuatnya berhasil di Barat. Y.G. secara signifikan lebih kecil dari S.M. dalam hal pendapatan, tetapi memiliki reputasi sebagai sebuah lembaga yang memungkinkan artis seperti PSY mendapat semacam kebebasan kreatif yang tidak akan mereka nikmati di S.M.

Lee lahir di Seoul pada tahun 1952, saat berlangsung Perang Korea. Dia tumbuh dengan mendengarkan ibunya bermain piano klasik. Pada saat itu, genre pop Korea yang dominan adalah trot (kependekan dari “foxtrot”), diucapkan “teuroteu.” Trot meminjam musik Barat dan dari lagu-lagu populer Jepang, warisan pendudukan Jepang, dari tahun 1910 sampai 1945. Genre ini campuran pengaruh tadi dengan gaya bernyanyi khas Korea yang disebut p’ansori. Lee, bagaimanapun, menenggelamkan diri dalam musik folk Amerika dan rock Korea, yang dimulai dari pangkalan Angkatan Darat AS dan dipopulerkan oleh gitaris dan penyanyi Shin Joong-hyun, pada tahun enam puluhan. Jauh sebelum K-pop muncul, musisi Korea adalah ahli dalam menggabungkan pengaruh Barat dengan nyanyian dan tarian gaya tradisional.

Lee melambungkan namanya sebagai penyanyi folk, dan menjelang akhir dekade membentuk band hard rock berumur pendek yang dinamakan Lee Soo-man dan 365 Hari. Dia juga menjadi DJ terkenal dan pembawa acara musik dan variety show di tv. Mark Russell, yang mewawancarai Lee untuk bukunya pada 2008, “Pop Goes Korea,” menulis bahwa pemerintah Korea pernah menindak dunia musik, menangkap dan memenjarakan beberapa musisi ternama atas tuduhan penggunaan ganja. Ketika kudeta militer menjadikan Chun Doo-hwan sebagai Presiden, pada tahun 1980, program radio dan TV Lee dihentikan.

Lee pindah ke AS, di mana ia mengejar gelar master di bidang teknik komputer di California State University, di Northridge. Ia menjadi terpesona dengan video musik yang menjadi pokok dari pemrograman MTV yang baru diluncurkan. Jika ada satu video dari tahun delapan puluhan yang menangkap banyak unsur-unsur yang kemudian muncul kembali di K-pop, itu adalah hit Bobby Brown pada 1988 “My Prerogative,” dengan swing triplet pada nada keenam belas, andalannya New Jack Swing. Gerak tari Brown—gerakan berlagak pada pinggul, dikombinasikan dengan putaran tegang yang diikuti para penari latar—juga merasuk ke dalam DNA K-pop.

Pada tahun 1985, Lee menerima gelarnya, dan, dia mengatakan pada Russell, ia kembali pulang bertekad untuk “mereplikasi hiburan AS di Korea.” Peningkatan kesejahteraan, ditandai dengan diselenggarakannya Olimpiade Seoul 1988, membantu membawa demokrasi berorientasi pasar ke Korea Selatan dan melonggarkan pembatasan umum pada media. Sekitar waktu ini, orang-orang Korea kembali ke Seoul dari AS membawa irama rap dan hip-hop, dinyanyikan dalam bahasa Korea. Sifat konsonan dari bahasa, dengan kelimpahan suara ka dan ta, meminjamkan kualitas rap-rap yang tajam. Pada tahun 1992, sebuah grup tiga anggota pria yang disebut Seo Taiji and Boys mementaskan sebuah lagu rap di kompetisi bakat TV Korea, dengan kengerian dari para jurinya, sebab menempatkan mereka pada peringkat terakhir, namun menyenangkan anak-anak yang menonton di rumah (salah satu anggota Boys adalah Hyun-suk, yang kemudian jadi pendiri YG Entertainment). Sejarawan musik Korea umumnya menyebut penampilan ini sebagai awal dari K-pop.

Lee mendirikan S.M. pada tahun 1989. Keberhasilan pertamanya adalah seorang penyanyi dan penari hip-hop Korea bernama Hyun Jin-young, yang albumnya rilis pada tahun 1990. Tapi, saat Jin-young berada di ambang kebintangannya, ia ditangkap terkait narkoba. Russell menulis bahwa Lee “hancur” gara-gara kemalangan ini, dan bahwa dari pengalaman ini mengajarkan pentingnya kontrol penuh atas artisnya: “Dia tidak bisa hanya mempromosikan dan mengembangkan artis barunya tanpa henti hanya untuk kemudian mendapatinya jatuh dan hancur.”

Sebagai akibatnya, Lee mengkombinasikan ambisinya sebagai seorang impresario musik dengan pendidikannya sebagai seorang insinyur untuk menciptakan cetak biru untuk apa yang kemudian menjadi jalur perakitan idola K-pop. Bintang-bintangnya akan dibuat, bukan dilahirkan, menurut sistem canggih pengembangan keartisan yang akan membuat pabrik perakit bintang seperti yang Berry Gordy buat di Motown yang nampak seperti usaha rumahan. Lee menyebut sistemnya “cultural technology.” Dalam pidato 2011 di Stanford Business School, ia menjelaskan, “Aku menciptakan istilah ini sekitar empat belas tahun yang lalu, ketika S.M. memutuskan untuk meluncurkan artis dan konten budaya ke seluruh Asia. Abad teknologi informasi telah mendominasi sebagian besar tahun sembilan puluhan, dan saya meramalkan bahwa era teknologi budaya akan terjadi selanjutnya.” Dia melanjutkan, “S.M. Entertainment dan saya melihat budaya sebagai satu jenis teknologi. Namun teknologi budaya jauh lebih indah dan kompleks ketimbang teknologi informasi.”

Pada tahun 1996, S.M. memberi debut bagi grup idola pertama: sebuah boyband beranggota lima yang disebut H.O.T. (Singkatan dari High-Five of Teenagers). Hal ini diikuti oleh grup gadis pertama S.M., S.E.S., singkatan nama dari tiga anggotanya (Sea, Eugene, dan Shoo). Kedua grup itu sangat populer di Korea, dan menginspirasi grup lain. Segera K-pop mengalahkan trot tradisional dan rock dalam margin komersial pada peta musik Korea.

Pada tahun 1998, Lee mulai mengekspansi ke seluruh Asia. Idol bernyanyi dalam bahasa Jepang dan Cina, tapi suara dan gaya musik serta video berpegang pada prinsip-prinsip yang telah membuat mereka populer di Korea. Lee dan rekan-rekannya membikin buku manual cultural technology—dikenal di S.M. sebagai C.T.—yang merupakan katalog langkah-langkah yang diperlukan untuk mempopulerkan artis Kpop di negara-negara Asia yang berbeda. Manual itu, semua karyawan S.M. diperintahkan untuk mempelajarinya, dan menjelaskan saat membawa komposer, produser, dan koreografer asing; progresi akord apa yang harus digunakan di negara apa; warna yang tepat dari eyeshadow seorang penampil harus pakai di negara tertentu; gerakan tangan yang tepat yang harus ia buat; dan sudut kamera yang harus digunakan dalam video (sebuah syut 360 derajat pada grup untuk mengawali video, diikuti montase tiap individunya dalam jarak dekat).

C.T. tampaknya berhasil. Pada tahun sembilan puluhan, H.O.T. merajai tangga lagu di Cina dan Taiwan. Baik H.O.T. dan S.E.S. dibubarkan di awal dua ribuan, tapi tindakan tindak lanjut Lee terbukti menjadi lebih populer. BoA, seorang penyanyi solo perempuan yang memulai debutnya pada tahun 2000, menjadi raksasa di Jepang. Super Junior, sebuah boyband, memulai debutnya pada tahun 2005, dan menjadi lebih besar di seluruh Asia ketimbang pendahulunya H.O.T.. Dan pada tahun 2007 muncul Girls ‘Generation, grup beranggotakan sembilan yang merepresentasikan teknologi budaya dalam bentuk tertinggi, dirancang bukan hanya untuk menaklukkan Asia tapi juga Barat. Nikkei, majalah bisnis Jepang, menempatkan grup ini di sampulnya pada tahun 2010, memberi kesan bahwa Girls’ Generation adalah penerus Samsung berikutnya.

Neil Jacobson adalah seorang eksekutif berusia tiga puluh lima tahun di departemen A. & R. di Interscope Records, salah satu label Universal Music Group, yang bertugas membuat album debut Girls’ Generation di Amerika. Ketika saya bertemu dengannya, di sudut ruang kerjanya yang besar di kantor pusat Interscope, di Santa Monica, ia mengenakan celana jins dan jaket rajutan abu-abu bertudung. Jacobson memiliki mata yang luar biasa besar, dan ia memiliki kebiasaan berdiri dekat-dekat dan mengarahkan bola padamu, membesarkan hatimu untuk ikut memikirkan keputusan membingungkan yang akan dia buat.

Jacobson mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan Ketua Lee di Hong Kong, dan bahwa mereka menghadiri konser Girls’ Generation bersama-sama. “Ini membuat saya tercengang betapa konseptualnya konser tersebut!” Jacobson berseru, memperlihatkan kepada saya mata terbelalaknya. “Setiap hal kecil dipikirkan. Setiap lagu seperti sebuah epik mini! Dan para fans—oh, Tuhan!” Dia berhenti sejenak, sedikit terhuyung oleh kenangannya.

Tantangan Jacobson adalah untuk membuat sebuah album yang menyoroti Ke-Korea-an Girls Generation—kemanisan dan kemurnian khas yang membedakan mereka dari pop lainnya—sementara membuat musik terdengar cukup urban sehingga bisa masuk radio dan setara dengan, katakanlah, Nicki Minaj atau Rihanna, yang bisa memperkenalkan suara dan gaya K-pop untuk fans mereka. Rapper dan produser Swizz Beatz telah membicarakan keinginannya untuk memasangkan Chris Brown dengan BIGBANG dari Y.G., boyband lima anggota, dan Nicki Minaj dengan grup sukses lainnya dari agensi ini, 2NE1, grup gadis empat anggota dengan mode terdepan. “Menjembatani kesenjangan dengan kolaborasi dapat menjadi awal dari sebuah fenomena global,” katanya kepada majalah musik The Fader. Namun sejauh ini hanya PSY yang berhasil dekat dengan menjembatani kesenjangan budaya pop Timur-Barat, dan itu masih harus dilihat apakah keberhasilannya hanya akan menjadi fenomena satu kali, seperti bintang dari Asia lainnya yang mencapai puncak tangga lagu AS dengan bernyanyi dalam bahasa aslinya, yakni penyanyi Jepang Kyu Sakamoto, dengan lagu “Sukiyaki” yang menduduki puncak Billboard Hot 100 pada tahun 1963.

Intruksi untuk membuat album Girls’ Generation untuk pasar AS datang dari atas. Max Hole, seorang eksekutif di divisi internasional Universal, mengatakan kepada saya, “Saya terus mengawasi apa yang terjadi di Jepang, jadi tentu saja aku menyadari bahwa Girls’ Generation telah menjadi amat besar, dan mereka melakukan tarian yang tersinkronisasi—sebuah pemandangan yang sangat memikat—dan saya pikir lagu-lagunya hebat. Jadi, pada salah satu pertemuan kami yang dihadiri semua kepala divisi Amerika Utara, saya memutar Girls’ Generation untuk mereka. Dan Jimmy Iovine”—pemimpin Interscope—” mengatakan, ‘Ini adalah rekaman yang benar-benar bagus’. Dan diputuskan bahwa kami harus mencoba Girls’ Generation di Amerika.”

Seperti yang lain-lain di industri rekaman, Hole ingin melakukan bisnis di Cina, yang suatu hari akan menjadi pasar terbesar di dunia.  Pertanyaannya adalah kapan itu akan terjadi. Ketika saya bertanya pada Hole, ia menjawab, “Cina jelas kesempatan besar bagi kami dalam waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang.” Dia menambahkan, “Saat ini, pasarnya sangat kecil, tapi kami membuat uang lewat endorsement dan tur.” Berkolaborasi dengan SM untuk rekaman AS bagi Girls’ Generation bisa mengarahkan ke kolaborasi lainnya di Cina, di mana S.M. mempunyai jaringan lebih baik ketimbang Universal.

“Memang, itu adalah target jangka pendek,” Hole melanjutkan, beralih soal peluang Girls’ Generation di AS. “Tidak ada banyak preseden untuk yang berbahasa non-Inggris tampil di Amerika. Rammstein”—sebuah band bergenre metal industrial dari Jerman—”telah melakukan dengan baik, meskipun sekarang hanya menjalankan tur. Ada beberapa penyanyi solo berbahasa Spanyol yang melakukannya dengan baik, tapi ada sangat sedikit preseden bagi kelompok yang bernyanyi dalam bahasa lain. Kelompok Swedia seperti ABBA bernyanyi dalam bahasa Inggris, bahkan di Swedia.”

“Tak pelak lagi, ada sembilan dari mereka,” kata Neil Jacobson soal Girls’ Generation. “Menginginkan Amerika untuk menerima sembilan gadis tidak akan mudah.” Grup laki dan perempuan jarang berjumlah lebih dari lima—One Direction, boy band lima anggota dari Inggris, adalah kelompok terbaru yang menaklukkan AS—dan pemasar bersusah payah menekan individualitas dari masing-masing anggotanya. Tapi Girls’ Generation tampaknya lebih besar namanya ketimbang tiap anggota-anggotanya.

Tur, yang label andalkan agar dilakukan Girls’ Generation, juga bisa menjadi masalah. Di Korea, promosi rekaman hampir seluruhnya dilakukan lewat penampilan di televisi. Selama tinggal seminggu di Seoul, saya melihat anggota Girls’ Generation di TV setiap malamnya. Di AS, dengan pengecualian ajang penghargaan, yang jarang terjadi, hanya ada sedikit acara TV format prime-time untuk mempromosikan musik pop; artis harus mengandalkan radio dan tur konser untuk membangun massa pengikut. “Aturan lazimnya untuk penampilan berbahasa Inggris adalah bahwa mereka sepuluh bulan melakukan tur di sini juga di Eropa dan satu bulan di Asia,” kata Jacobson. “Tapi gadis-gadis ini sepuluh bulan di Asia.” Endorsement produk merupakan bagian yang signifikan dari pendapatan Girls’ Generation yang memiliki lebih dari empat puluh kesepakatan endorsement di Asia, dari ponsel hingga ayam panggang. Tinggal lebih lama di Barat akan mengakibatkan terkena “oppurtunity cost” yang signifikan, sebut agen di Y.G. pada saya, dalam bentuk pendapatan iklan yang hilang, dan, lebih buruk lagi, absen dari TV.

Wonder Girls, yang telah menjadi grup gadis terbesar dalam K-pop, menghabiskan dua tahun di New York untuk mencoba, namun tak berhasil, dalam rangka menembus pasar Amerika, sementara mereka dikalahkan di kandangnya oleh Girls’ Generation. Beberapa orang yang saya temui di agensi menyebut ini sebagai satu kisah peringatan.

“Dan aku tidak ingin mereka hanya melakukannya di New York, Chicago, L.A.,” Jacobson melanjutkan, mondar-mandir di kantornya. “Aku ingin mereka untuk pergi ke Alabama dan Missouri dan Kansas. Kami membutuhkan mereka untuk makan, bernapas, dan tidur di sana. Sehingga ini akan menjadi negosiasi yang menarik.”

Pada akhirnya, Jacobson menghadapi teka-teki yang sama seperti Lee Soo-man: bagaimana kau bisa menciptakan musik yang menarik bagi Timur dan Barat, tanpa mengasingkan para penggemar baik di keduanya? Jacobson mengatakan bahwa ia mengangkat ratusan lagu dari berbagai penulis lagu—Asia, Amerika, dan Eropa—karena semakin banyak penulis Barat menyadari potensi K-pop. “Aku tidak ingin kehilangan cita rasa Asia. Aku ingin lagu yang menyuarakan nama Girls’ Generation namun juga bersuara dengan bunyi Amerika sekarang.”

*

Setengah jam sebelum konser Anaheim, saya di belakang panggung, hendak bertemu Tiffany dan Jessica, dua anggota dari Girls’ Generation yang lahir dan dibesarkan di AS, yang keduanya masih berada di awal dua puluhan. Seorang pria dari S.M. membimbing saya melalui labirin ruang ganti, di mana para idol, terutama lelaki, yang rambutnya sedang sibuk ditata dan pakaian mereka disesuaikan. Ada banyak yang membungkuk tergugup. Pemandu saya mendesak saya, mengatakan pertanyaan apa yang tidak boleh ditanyakan pada Girls’ Generation. “Apakah sedih untuk mengucapkan selamat tinggal kepada teman yang tidak berhasil debut?” Katanya. “Apakah Anda punya pacar?” Dia berhenti sejenak. “Ini semua akan sampai ke Korea, dan itu bakal sedikit berbeda di sana,” katanya . “Jadi jika bisa, kita menjauh dari pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti soal pacar.”

Saya mulai dengan menanyakan keduanya tentang tantangan yang mereka hadapi dalam beradaptasi dengan budaya Korea. “Saya pikir saya akan dapat menyesuaikan, karena orang tua saya berbicara Korea di rumah,” kata Tiffany. “Tapi saya bahkan tidak menyangka betapa berbedanya. Kultur Amerika sangat terbuka dibandingkan dengan kultur Korea, yang benar-benar konservatif. Jadi ketika saya, misalnya, bilang ‘Hai!’ namun mereka, akan menyuruh, ‘Anda tidak mengatakan “Hai!” Anda harusnya membungkuk!'”

Dan bagaimana keadaan hidup mereka sekarang? Tiffany mengatakan, “Enam dari kami hidup bersama, dan tiga lainnya hidup dalam jarak satu menit berjalan. Jadi kita akan selalu bolak-balik ke rumah masing-masing.”

Apakah para netizen meributkan pergerakan mereka di Internet?

“Ya, itu benar,” kata Jessica. “Aku berada di sebuah restoran dan bakal muncul di Twitter, hanya dalam waktu, sepuluh menit.”

“Bagaimana rasanya hidup seperti itu?” Saya bertanya.

“Saya pikir kami telah dibesarkan untuk bersikap hati-hati dan mengemban tanggung jawab terhadap segala tindakan kami, apabila telah berada dalam posisi ini,” kata Tiffany. Dia menambahkan, “Kami selalu tinggal dalam rumah.”

Saya menyebutkan ada sebuah berita yang saya telah baca tentang bagaimana Girls’ Generation mencoba untuk menyamarkan diri mereka di jalan-jalan Seoul, tapi hanya dari anggota badannya saja—bentuk lengan dan kaki mereka—dapat membuka kedok mereka. Apakah itu benar?

“Memang,” kata Tiffany, melirik lengannya sebagai bentuk tuduhan. “Ini begitu. . . ” ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat untuk diucapkan. “Ganjil namun keren!”

Dari dalam gelanggang terdengar suara lolongan rendah yang panjang—teriakan para fans, yang menanti-nanti idol untuk muncul.

“Oke, kita harus pergi,” pria dari S.M. itu berkata.

Tapi aku punya satu pertanyaan pribadi untuk Tiffany. “Senyum mata Anda: apakah Anda mempelajarinya atau itu alami?”

“Tidak,” jawab Tiffany, cekikikan. “Ayah saya tersenyum seperti ini.” Dia memberi senyum-matanya pada saya dari jarak dua kaki: sebuah sentakan teknologi budaya murni.

Saat saya sedang berjalan kembali ke pintu masuk panggung, saya mendapati sebuah lingkaran para idol yang berkumpul mengelilingi seorang pria mungil dalam setelan biru tua. Dia diam-diam memberikan semacam nasihat; kadang-kadang, ia berhenti dan kelompok akan membalas berteriak. Bergerak sedikit lebih dekat, saya mengenali Lee Soo-man. Saya terkesan dengan perhatian penuh pada “keluarga”-nya yang selalu tergantung pada setiap katanya. Dia mengarahkan sambutannya pada EXO, kelompok Cina-Korea barunya; kesemua dua belas anggota hadir. Dengan masing-masing berteriak, keduabelas anggota EXO membungkukkan pinggang dalam-dalam.

*

Tidak semua anggota keluarga S.M. dekat dengan Ketua Lee. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa anggota keluarga telah menggugat perusahaan atas perlakuan kasar yang diterima dan disebut “kontrak perbudakan.” Mungkin kasus yang paling terkenal adalah Han Geng, seorang penari kelahiran China, berbahasa Mandarin. S.M. menemukan dia di Beijing pada tahun 2001, dan ia memulai debutnya sebagai anggota Super Junior pada tahun 2005. Pada tahun 2009, ia menggugat perusahaan, antara lain, karena memaksa dia untuk menandatangani kontrak selama tiga belas tahun ketika ia berusia delapan belas; membayarnya hanya sebagian kecil dari keuntungan yang diperoleh; denda saat dia menolak untuk melakukan hal-hal yang diminta perusahaan; dan membuatnya bekerja selama dua tahun berturut-turut tanpa satu hari libur, yang diakui Han menyebabkannya menderita gastritis dan penyakit ginjal. Pengadilan Korea memutuskan mengabulkan permohonan Han, namun tak lama setelah ia memutuskan mengundurkan gugatannya. Karena ia telah meninggalkan grupnya.

S.M. awalnya membela diri atas kontrak jangka panjang dengan merujuk biaya tempat tinggal, makan, dan pelatihan rekrutmen selama lima tahun atau lebih, yang bisa sampai jutaan dolar. Tapi kehebohan atas “kontrak perbudakan” merusak reputasi S.M. di antara para netizen, dan dalam beberapa tahun terakhir kontrak telah menjadi lebih adil. Anggota Girls’ Generation dikabarkan menandatangani kontrak untuk tujuh tahun, dengan gaji satu juta dolar setahun, yang nyaris tidak bisa tidak disebut eksploitatif.

Agensi lainnya yang menggunakan sistem pabrik gaya-S.M. mungkin kurang progresif. Pada bulan Februari 2011, tiga anggota KARA, grup gadis yang sangat populer dari DSP, satu agensi yang lebih kecil, mengajukan gugatan yang mengklaim bahwa, meskipun grup memperoleh ratusan ribu dolar dari agensi, setiap anggota hanya dibayar seratus empat puluh dolar sebulan. Agensi membantah angka itu, dan akhirnya kedua belah pihak berdamai. Pembatasan ketat yang diberlakukan beberapa agensi pada idolnya telah dipublikasikan secara luas di Korea. Agensi kecil lain, Alpha Entertainment, melarang anggota perempuan untuk memiliki pacar dan melarang makan atau minum setelah pukul 19:00, menurut Straits Times, koran berbahasa Inggris di Singapura. Mereka tidak diizinkan untuk pergi ke mana pun tanpa pengawasan. Ketika koran menanyakan ibu Ferlyn, salah satu trainee Alpha, soal bagaimana perasaannya tentang rejimen putrinya, ia menjawab, “Apa yang dilalui gadis-gadis sejauh ini cukup masuk akal. Perusahaan telah menginvestasikan banyak hal pada mereka, sehingga mereka harus bekerja keras untuk perusahaan. Saya tidak khawatir tentang Ferlyn. Saya ingin dia mengikuti impiannya dan menjadi besar.”

Ketika sebuah industri hiburan masih muda, para pemodal memiliki semua kuasa. Pada masa-masa awal bisnis film, studio Hollywood mengikat bakat-bakatnya dalam kontrak jangka panjang. Dalam bisnis rekaman, menarik kembali jutaan artis, banyak dari mereka akhirnya pecah, telah menjadi praktek bisnis yang lazim. Ketika kau mereplikasi bisnis hiburan Amerika, dan menambahkan kebajikan Konfusius soal penghormatan kaku pada yang lebih tua untuk hubungan tradisional yang tidak sama antara artis dan atasan, konsekuensinya bisa jadi keji.

Ironisnya, untuk semua uang yang agensi investasikan dalam penciptaan-idol, keberhasilan PSY, bintang pop Korea pertama yang meledak di AS, terjadi sebagian besar di luar sistem pabrik. PSY memang bagian agensi Y.G., tapi dia tidak pernah menjadi materi idol. Album pertamanya, “PSY from the PSYcho World!,” disebut “konten yang tidak pantas,” dan yang kedua, “Ssa 2,” dilarang untuk siapapun yang berusia di bawah sembilan belas. Pada tahun 2001, ia ditangkap dan didenda karena merokok ganja, dan, saat masa tugas wajib militer, dia mangkir tugas dan harus mengulang pelayanan lagi. Dia memang bintang pop Korea, tapi bukan K-pop, dan dengan komentar satirnya akan standar K-pop dalam “Gangnam Style,” PSY mungkin telah menumbangkan peluang K-pop untuk membuatnya besar di Barat. Setidaknya, bahwa seorang pria gemuk dengan tarian konyol bisa sukses di mana grup idola paling cemerlang yang direkayasa belum membuktikan bahwa cultural technology bisa menempatkanmu sejauh yang dia capai.

*

Grup pertama yang tampil di panggung Anaheim adalah SHINee, sebuah boyband. Para pria itu asyik untuk disaksikan—pria androginus dengan dandanan tebal dan rambut mengembang yang melakukan tarian berirama berat. Tapi sayan ingin mengambil resiko dan mengatakan kalau tak ada kesempatan bahwa grup laki K-pop bakal sukses di Amerika Serikat. Derajat dandanan artistiknya lebih mirip Lady Gaga ketimbang Justin Bieber. Meski memang ada seorang penonton perempuan antara sepuluh dua belas tahun yang suka para pria tadi, tapi ada perbedaan budaya yang menganga antara, katakanlah, One Direction dengan SHINee.

Tentu saja, para fans mencintai SHINee, apalagi ketika para pria itu memisahkan diri dan berjalan mengitari panggung dan mulai menyapa penonton dengan kedipan dan gupayan. Lalu suara orang berubah dari sebuah salakan ke dalam semacam ratapan—saya belum pernah mendengar nada yang seperti ini di konser sebelum-sebelumnya.

Saya sedang menonton pertunjukan dari samping panggung ketika sembilan anggota Girls’ Generation keluar, dengan jeans biru dan kaos putih, untuk melagukan “Gee”. Seluruh tempat meneriakkan hook “Geegeegeegeebabybaby“. Setiap kali sebuah lagu berakhir, gadis-gadis itu menyebar di sekitar panggung. Pada satu titik, Sooyoung datang ke tempat saya berdiri dan mulai mengedipkan mata bertubi-tubi dan melambai dalam langkahnya saat melalui kerumunan, mengenakan senyum bahagia dan mengibaskan rambut mengkilapnya. Dia tidak lagi si idol dingin yang saya temui di ruang pers tapi seorang pemandu sorak yang luar biasa. Ini seperti yang dikatakan Jon Toth sebelumnya: Girls’ Generation yang datang untuk menemui kita.

Tapi setelah Girls’ Generation meninggalkan panggung, konser terhenti sebentar, dan saya menemukan diri saya bertanya-tanya mengapa musik pop derivatif dengan produksi berlebihan, yang dilakukan oleh penyanyi lapis kedua, akan menarik bagi khalayak Amerika, yang bisa mendengar penampil-penampil yang lebih baik melakukan materi asli yang tepat di sini di kampung halamannya sendiri? Meski dengan usaha keras Girls’ Generation sekalipun, mitos penggabungan Timur dan Barat tetap sulit dipahami.

Saya menuju ke tingkat Premium dalam gelanggang, di mana Interscope telah memesan sebuah tempat khusus. Wanita yang keluar dari lift mengatakan kepada saya bahwa dia tidak ingat pernah mendengar teriakan begini keras dalam sebuah konser. Dia memakai penyumbat telinga.

Tempat khusus memuat orang-orang Interscope dari bagian pemasaran dan departemen A. & R.. Ada minuman dan makanan—apa pun yang kau inginkan, kata Jacobson, merangkul bahu saya dan membimbing saya ke kursi di barisan depan.

“Sekarang, saya di sini murni sebagai pengamat,” katanya, menduduki kursi di samping saya. “Saya hanya ingin membuka mata saya dan melihat semua ini.”

Jacobson memberi gerak-isyarat ke sekitar arena. “Oke, kelihatannya tidak ada yang duduk. Tidak ada seorang pun. Bahkan di langit-langit. Jadi, jelas, ada koneksi di sana. “Koneksi, jelasnya, adalah esensi dari musik pop, menurut bosnya, Jimmy Iovine. “Jimmy selalu mengatakan ini semua tentang hubungan antara artis dan fans-fansnya,” katanya. “Seluruh bisnis ini, semua tentang hubungan itu. Dan, jelas, orang-orang merasakan hubungan itu dengan Girls’ Generation.”

Ada beberapa lagu cover: Jessica dan adiknya Krystal menyanyikan “California Gurls”-nya Katy Perry dan Amber, si tomboy dari f (x), Kris, dari EXO-M, dan Key, dari SHINee, meng-cover “Like a G6”-nya Far East Movement—satu-satunya preseden Asia sejauh ini untuk membuktikan kesuksesan grup-pop yang Jacobson ingin Girls’ Generation di Amerika (meskipun semua anggota Far East Movement lahir di LA dan dibesarkan di sana). Penampil datang dan pergi, berubah kostum dan kembali lagi. Di antara selingannya, kita disuguhi pesan dari keluarga S.M.. Pada satu titik, kerumunan menonton sebuah video yang sedikit menyeramkan dengan ilustrasi kartun tentang cinta bahwa anggota keluarga S.M. saling mengasihi satu sama lain. Kadang-kadang, konser tampak seperti reli besar. Tapi yang terbaik itu menimbulkan emosi pop utama yang hanya beberapa artis-artis pop terbesar—Beach Boys, The Beatles awal, grup gadisnya Phil Spector—bisa membangkitkannya: perasaan cinta yang murni.

Ketika Girls’ Generation muncul lagi, Jacobson menyaksikan mereka lebih teliti. “Oke, ini semua tentang kerendahan hati,” katanya. “Lihatlah bagaimana mereka membungkuk kepada para fans mereka. Ini bagian terhebatnya.” Dia mulai menghitung kualitas-kualitas Girls’ Generation dengan jari-jarinya. “Pertama, kecantikan. Kedua, keanggunan dan kerendahan hati. Ketiga, tarian. Dan keempat, vokal. Juga, singkatnya. Semuanya tercipta tak lebih dari tiga setengah menit. Mari kita catat itu.”

*

Diterjemahkan dari Factory Girls, oleh John Seabrook (jurnalis Amerika yang sering menulis tentang teknologi dan budaya populer, penulis tetap The New Yorker sejak 1993), dalam rubrik Annals of Music edisi 8 Oktober 2012.
The New Yorker adalah majalah Amerika kompeten yang memuat beragam reportase, komentar, kritik, esai, fiksi, satir, kartun, dan puisi. Terkenal karena narrative journalism, atau literary journalism, atau jurnalisme sastrawi, bentuk penulisan nonfiksi yang dibuat menarik secara kreatif dengan tetap mempertahankan keakuratan dan ketelitian riset.
Pekerja teks komersial, juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku dengan kearifan lokal

Posting Komentar

Berkomentarlah sebelum komentar dilarang. Jika kolom komentar enggak muncul, hapus cache browser atau gunakan versi web.
© Arifureta. All rights reserved. Developed by Jago Desain