Persahabatan Mematikan Yukio Mishima dan Yasunari Kawabata

Yukio Mishima pertama kali bertemu dengan Yasunari Kawabata pada bulan Januari 1946, untuk memohon bantuan agar karya-karyanya diterbitkan.
Persahabatan yang intim antara Yukio Mishima (1925-1970) dan Yasunari Kawabata (1899 – 1972) berada di sanubari skena sastra Jepang dalam dekade-dekade pasca perang, atau begitulah tampaknya. Sampai kemunculan Haruki Murakami sebagai superstar sastra internasional pada tahun 1990an, Mishima dan Kawabatalah yang mendefinisikan apa yang dipikirkan orang saat mereka mempertimbangkan novel Jepang modern.


Mishima – yang terkenal dipotret pada tahun 1969 dengan tubuh binaragawan, pedang di tangan dan bandana melingkar di kepalanya – adalah cowok macho dengan awak berotot ultra-kencang dan kematiannya yang spektakuler lewat ritual bunuh diri pada tahun 1970 menjadi berita utama di seluruh dunia.

Mishima adalah penulis karya ikonik seperti novel seputar pembebasan seksualnya yang blak-blakan, Confessions of a Mask (1949), dan The Temple of the Golden Pavilion (1956), kontemplasi tentang imajinasinya yang luar biasa dan terkadang destruktif. Tetralogi The Sea of Fertility (serial 1965-71) yang berusaha melampaui waktu dengan menelusuri reinkarnasi yang terjadi dari orang yang sama selama beberapa generasi, adalah salah satu prestasi sastra paling penting dan monumental dari Jepang modern.

Kawabata adalah pemenang Nobel Sastra pertama di Jepang pada tahun 1968, yang terkenal dengan novel-novel yang indah sekaligus teliti seperti Snow Country (1935-37), The Sound of the Mountain (1949-54) dan The Master of Go (1951), yang kesemuanya menggabungkan kepekaan modern dengan estetika khas Jepang. Berbanding terbalik dengan perawakan Mishima yang mengancam, dia adalah sosok kurus kerontang yang sering difoto dalam balutan pakaian Jepang.

Yang tak terlalu diketahui adalah bahwa Mishima anak didik Kawabata, yang nantinya akan berperan penting dalam kejatuhan mentornya.

Mishima pertama kali bertemu dengan Kawabata pada bulan Januari 1946, setelah seorang penulis muda berusia 21 tahun yang tak dikenal ini, dengan gugup dan penuh penghormatan, datang ke rumah seorang Kawabata di Kamakura yang berusia 46 dan sudah terkenal secara nasional untuk memohon bantuan agar karya-karyanya diterbitkan di beberapa majalah yang terhubung dengan Kawabata.


Ketika Kawabata menjadi pelindungnya, maka, dalam kata-kata saudara laki-laki Mishima, seperti “tangan Tuhan” mengangkat anak muda yang lemah dari ketakjelasan dan membuatnya menjadi sosok yang mulai menarik perhatian di dunia penerbitan Jepang. Akhirnya seorang penerbit datang ke Mishima – yang masih bekerja sebagai birokrat pemerintah – dan menugaskannya untuk menulis novel, Confessions of a Mask, yang akan mengubahnya menjadi sensasi nasional, dipuji dalam sebuah artikel surat kabar oleh Kawabata sendiri sebagai “Harapan tahun 1950”.

Sejak saat itu, Mishima tidak menoleh ke belakang dan menuangkan banyak novel – sastrawi dan populer, banyak di antaranya langsung diangkat menjadi film – juga drama, cerita pendek, kritik dan memoar. Sepanjang tahun 1950-an kebintangnya semakin tinggi. Dan selalu di sisinya adalah mentornya Kawabata, bahkan menelepon ke rumahnya untuk mewanti-wanti “selamat jalan” saat Mishima berangkat dalam perjalanan keliling dunia pada tahun 1951.

Begitu dekatnya keduanya, dan sangat bersyukur Mishima akan koneksi ini, Mishima – meskipun sebenarnya seorang gay – disarankan untuk menikahi anak perempuan Kawabata yang diadopsi pada tahun 1952. Ketika Mishima akhirnya menikah dengan gadis lain pada tahun 1958, Kawabata bertindak sebagai mak comblang resmi.

Ketika pada tahun 1968 diumumkan bahwa Kawabata telah menjadi penulis Jepang pertama yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Sastra, Mishima bergegas ke rumahnya di Kamakura untuk mengucapkan selamat kepadanya. Dan ketika Mishima secara spektakuler meninggal bunuh diri pada tahun 1970, Kawabata akan memberikan madah di pemakamannya.

Namun di balik layar, apa yang diasumsikan dunia sebagai persahabatan terdekat ini telah berubah menjadi persaingan paling mematikan. Pada tahun 1960, hubungan mentor-murid telah berubah.

Mishima yang produktif – yang digambarkan oleh Kawabata sebagai “seorang jenius yang mungkin datang 300 tahun sekali” – sekarang adalah tokoh dominan dalam lanskap sastra, tidak lagi memerlukan penyokong apapun. Kawabata di sisi lain semakin bergantung pada pil tidur dan terkadang tidak mampu tampil sebagai penulis profesional sama sekali. Ketika Kawabata sedang membuat serial novel The House of the Sleeping Beauties pada tahun 1961, dia dirawat di rumah sakit dan bukannya menunda serialisasi, sepertinya dia menoleh ke Mishima untuk menjadi ghost writer untuknya.

Mishima, seorang pria dengan disiplin fantastis yang tidak pernah melewatkan tenggat waktu dalam hidupnya dan yang membentuk pandangan rendah terhadap seseorang yang tidak mampu menunjukkan profesionalisme yang sama, dengan mantap mulai merevisi pendapatnya tentang Kawabata. Secara pribadi, dia menggambarkan karya Kawabata Snow Country sebagai “campur aduk rongsok” dan ketika ditanya apa novel Kawabata favoritnya, dia membalas, The House of the Sleeping Beauties.

Ambisi Mishima tidak terbatas. Menjadi superstar sastra di Jepang tidak cukup: ia ingin menaklukkan dunia. Setelah dibantai oleh kritikus Jepang pada tahun 1959 dengan penerbitan Kyoko’s House, novel panjang yang dia percaya akan “menggambarkan zaman” dan yang dengan tegas akan menjadikannya sebagai penulis hebat, Mishima memutuskan bahwa dia akan membuat para kritikus Jepang tampak bodoh dengan menjadikan dirinya sebagai penulis Jepang pertama yang memenangkan Nobel Sastra. Dia melakukan segala kemungkinan untuk mewujudkan ambisinya: menjamu penerjemah dan penerbit internasional, menambat diplomat, dan bahkan mengunjungi Stockholm dalam persiapannya.

Tapi pada tahun 1960 Mishima terlibat dalam sebuah kontroversi yang bisa menghancurkan peluangnya dan malah membuka pintu Hadiah Nobel ke Kawabata. Mishima menulis sebuah novel berjudul After the Banquet yang merupakan potret terselubung seorang politisi konservatif yang sangat tidak menarik. Politisi tersebut menggugat soal pelanggaran privasi, melibatkan Mishima dalam kasus pengadilan yang akan bergemuruh selama bertahun-tahun.

Pada puncak Perang Dingin di tahun 1960an, rumornya adalah bahwa komite Hadiah Nobel menghindar dari Mishima – yang di masa mendatang jadi tokoh ikon politik sayap kanan – karena mereka secara keliru mengira bahwa Mishima berada di sayap kiri karena karya satirnya pada seorang politisi konservatif itu.

Kemudian Mishima mencoba membujuk Kawabata – sebagai ketua klub PEN – untuk menulis surat dukungan yang menegaskan haknya untuk kebebasan berbicara. Sebagai imbalannya Kawabata dengan cerdik meminta agar Mishima menulis surat yang mendukung pencalonannya untuk Hadiah Nobel. Selanjutnya Kawabata mengklaim bahwa dia tidak tertarik untuk memenangkan Hadiah yang akhirnya dia dapatkan – sebagai perwakilan non-politis dalam estetika tradisional Jepang – pada tahun 1968.

Dengan kesempatan untuk memenangkan Hadiah Nobel yang terebut darinya, Mishima menjadi semakin terbiasa dengan perjuangan batin untuk menyelesaikan “karya utama” monumentalnya, tetralogi The Sea of Fertility. Jauh dari pekerjaan kreatifnya, dia terobsesi dengan gagasan bahwa Jepang mungkin jatuh ke dalam perang sipil karena kerusuhan mahasiswa anti-Vietnam pada tahun 1968.

Dia membentuk pasukan pribadinya sendiri dan menyerukan revisi “Konstitusi Perdamaian” Jepang. Akhirnya pada tahun 1970, dalam insiden yang aneh, dia menyandera seorang jenderal di sebuah pangkalan militer dan meminta tentara untuk bangkit. Ketika khotbahnya tak mendapat tanggapan yang diharapkan, dia langsung melakukan ritual bunuh diri seppuku.

Ada banyak alasan kematian mengejutkan Mishima ini: pernyataan politik; realisasi fantasi sadomokis seumur hidup; keinginan untuk mati di puncak kekuasaannya. Tapi hanya sedikit yang bisa merasakan kekuatan kematian yang mematikan itu lebih tajam selain mentor seumur hidupnya Kawabata.

Ironisnya, Kawabata sedang menghadiri sebuah pemakaman di pagi hari saat berita tentang “Insiden Mishima” sampai kepadanya dan dia bergegas ke pangkalan militer dengan masih mengenakan pakaian berkabung. Dua bulan kemudian dia akan memimpin perkabungan di pemakaman resmi Mishima.

Kawabata sangat dihantui oleh kematian Mishima dan selama dua tahun Kawabata sendiri hidup dalam kematian, bunuh diri dengan gas beracun. Beberapa orang berpendapat bahwa ia meninggal karena kecelakaan, namun nampaknya jauh lebih mungkin ia meninggal bunuh diri.

Apa yang terjadi ketika seorang penulis tua mengasuh bakat muda yang akhirnya dia andalkan seperti tongkat penopang? Apa yang terjadi ketika bakat muda itu tumbuh seperti monster dan menguasai talenta yang lebih tua, yang diam-diam membenci dia dan bersembunyi di balik penghargaan kosong?

Pertarungan psikologis yang menarik antara Mishima dan Kawabata bukan hanya sebuah cerita kunci dalam evolusi sastra Jepang modern, tapi juga salah satu hubungan cinta-benci paling menarik dalam sejarah sastra.

*

Diterjemahkan dari Bookwitty berjudul The Deadly Friendship of Yukio Mishima and Yasunari Kawabata. Damian Flanagan adalah pengarang, kritikus, satiris. Menulis di The Japan Times, The Irish Times dan The Daily Express. Buku yang telah diterbitkan: The Tower of London: Tales of Victorian London dan Yukio Mishima.
Pekerja teks komersial, juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku dengan kearifan lokal
© Arifureta. All rights reserved. Developed by Jago Desain