Kamar-kamar indekos dekat sarang dedemit ini selalu terisi berkat kepolosan mahasiswa baru dan jilatan lidah para calo sial. "Lokasinya dekat kampus, tinggal jalan," rayu sang calo, dan setidaknya selama dua tahun saya jadi penghuni di sini, berharap untuk menemukan kehidupan kampus ideal penuh warna yang selalu ia impikan.
Pikiran di masa pagebluk hari ini makin bekerja acak. Kenangan timbul tenggelam, keinginan untuk merevisi masa lalu, apakah secara harfiah atau hanya redaksi naratifnya, seakan meninggi belakangan ini. Periode hidup saya antara 2011-2013 di indekos tersebut sering hadir. Ketika mencoba melihat masa itu, saya pikir saya pendokumentasi yang payah, saya jarang menemukan catatan historis diri saya sendiri. Yang tertinggal cuma fragmen kenangan, dan sebelum benar-benar terhapus saya akan mencoba menuliskannya.
Jembatan Cincin. Dibangun perusahaan kereta api Belanda pada 1918, dipensiunkan fungsinya sebagai jalur kereta ketika invasi Jepang pada 1942, dan pada 2011 saya masih melihat infrastruktur gagah itu dari kampus Fakultas Keperawatan Unpad (saat itu kampusnya masih di sebelah Fikom). Saya masih belum tahu apa yang ada di baliknya, pikiran saya masih melambung soal hari esok yang menanti di kampus ini, ketika rasio laki dan perempuan 1:15, mengkhayal apakah saya sedang jadi protagonis manga harem.
Foto dari depan kampus Keperawatan, tahun 2015. |
Jika belum pernah mendengar jembatan ini, silahkan buka Google, dan topik yang sering diangkat adalah betapa angkernya tempat ini. Lubang hitam di telapak tangan si biksu cabul Miroku tampaknya tak bakal kuat menampung beragam siluman yang mendiami di sini. Dari yang lokal sampai produk ekspor, dari Mbah Jambrong, hantu tanpa kepala, jurig kenpeitai, teteh kuntilanak, mamang pocong, siluman ular, anak ayam yang bisa berubah jadi buto ijo, roh gentayangan dari mereka yang bunuh diri. Terlalu banyak untuk diabsen.
Jika melihat foto Tropenmuseum, lokasi indekos saya berada di sebelah kanan. Saya masih tak habis pikir betapa jeniusnya orang-orang yang bikin pemukiman di sisi jurang. Di jurang, di bawah Jembatan Cincin, terdapat kompleks pemakaman, yang kabarnya sudah ada sejak sebelum jembatannya dibangun. Dunia atas, dunia bawah, antar kehidupan dan kematian sungguh begitu dekat.
Kamar indekos saya berukuran 3x4 m, toilet berada di luar. Satu mahasiswa Fakultas Peternakan dan satu mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang baru masuk kuliah jadi penghuni baru bersama saya. Sudah jadi rahasia umum, kalau para penghuni di sini seringnya mahasiswa baru yang hanya akan menetap di tahun pertamanya, selanjutnya mencari lokasi indekos di tempat yang dekat jalan raya (misalnya Ciseke atau Cincin). Ternyata, ada mahasiswa Fakultas Pertanian tingkat tiga yang masih betah tinggal di sini, tentu saja kami panggil dia sesepuh. Dia sering memberi petuah bijak soal menjadi manusia dan mahasiswa, dan beberapa saran praktis seperti jika ingin mengisi ulang galon atau memasang koneksi internet (bayar 90 ribu sebulan) bisa meminta ke warung depan.
Idealnya anak kos itu adalah mereka yang selalu berada dalam kepayahan.
Dari krisis finansial, krisis identitas diri, dan krisis air bersih.
Pergulatan berebut kamar mandi jika ada jadwal kuliah pagi adalah
aktivitas seru. Siapa cepat dia dapat, siapa malas dia memelas, karena
para pemalas mau tak mau harus berangkat ke kampus cuma modal cuci muka.
Namun, yang cepat kadang harus mengalah pada nasib, sebab air tak
ngocor. Dengan alasan kedaruratan, guyuran air harus diganti dulu dengan
semprotan minyak wangi.
Gambaran kamar indekos saya. Welcome to NHK (2006) |
Sebelum terpasang internet adalah masa-masa kegelapan. Saya masih ingat untuk menanggulanginya, saya membaca manga Rave Master. Karya Hiro Mashima ini pernah diadaptasi jadi anime dan jadi salah satu tayangan favorit saya, tapi saya belum pernah tahu bagaimana tamatnya. Ada tempat peminjaman komik di dekat Gerbang Lama Unpad dekat pertigaan. Namun entah kenapa, saya tak merampungkan manga ini, yang kemudian baru saya baca ulang lagi beberapa tahun ke belakang via situs scanlation, mungkin internet sudah masuk kamar indekos waktu itu. Yang pasti, sampai sekarang saya masih ingat dengan jelas kalau Rave Master adalah bacaan pertama saya di kamar itu.
Bacaan lain yang masih saya ingat adalah buletin Al-Islam yang terbit mingguan dan disebarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Isi buletin tersebut tak jauh dari mengomentari isu-isu terkini, dan bahwa segala permasalahan hanya bisa diselesaikan lewat khilafah. Buletin ini biasanya muncul saat hari Jumat, dibawa pulang atau jadi sampah setelah sholat Jumat di Masjid Agung Unpad (dulu masih belum ada Bale Aweuhan). Teman indekos yang dari Peternakan itu rupanya sudah tercebur HTI, sering menyelipkan buletin Al-Islam di pintu kamar saya, dan beberapa kali mengajak saya ikut kajiannya. Bahkan pernah mengatakan kalau saya mirip Felix Siauw, mungkin sebuah pujian.
Yang menarik, bukannya jadi kader HTI, saya malah jadi fanboy K-Pop berkat ulahnya. Sebenarnya ada alasan-alasan lain kenapa saya jadi kecanduan K-Pop, sebagian besar karena sering terpapar olehnya saat kuliah di Keperawatan, tapi ada satu kesempatan yang bikin saya hijrah justru karena teman saya dari Peternakan itu. Suatu kali dia pernah meminjami saya flashdisk berisi beragam video ceramah soal keislaman, kebanyakan merupakan propaganda betapa mulianya sistem khilafah. Namun, dalam flashdisk itu terselip video rekaman sekelompok gadis Korea Selatan yang berjoget dan bernyanyi imut. Itu rekaman T-ARA yang mementaskan lagu Roly-Poly di sebuah reality show. Saya justru terpikat karena ini, menyetel video ini mungkin hampir ratusan kali.
Bangkitnya kesukaan saya pada K-Pop dipengaruhi juga ketika awal kuliah, karena sering bermalam di indekos teman ketika ada tugas bejibun. Daftar lagu yang diputar kebanyakan Korea, berhubung waktu itu The Boys dari SNSD lagi hits, nomor ini yang sering disetel. Kesan pertama tentu aneh banget, liriknya enggak jelas pakai bahasa super asing, nyanyi sok imut, muka sama semua. Baru pada 2013, berkat di awal tahun rilis I Got A Boy, saya makin doyan K-Pop, khususnya SNSD. Bagaimana sebagai pemula merasakan gairah fanboying, mengabsen nama-nama member, menghafal lirik, menentukan bias, sampai bisa karaoke sambil memperagakan jogetannya.
Setelah hampir dua tahun di indekos dekat Jembatan Cincin ini, maafkan karena saya tidak bisa menawarkan cerita mistis apapun. Ketakutan terbesar saya justru ketika pesanan saya dari Cafe Munjul, sebuah warung makanan mungil kebanggaan mahasiswa sekitar, tak kunjung datang. "Munjul! Munjul!" suara paling akrab itu baru memanggil, setelah rasa lapar berubah jadi kesal.
Setelah hampir dua tahun di indekos dekat Jembatan Cincin ini, maafkan karena saya tidak bisa menawarkan cerita mistis apapun. Ketakutan terbesar saya justru ketika pesanan saya dari Cafe Munjul, sebuah warung makanan mungil kebanggaan mahasiswa sekitar, tak kunjung datang. "Munjul! Munjul!" suara paling akrab itu baru memanggil, setelah rasa lapar berubah jadi kesal.
Saya mungkin terlalu medioker untuk dapat pengalaman mistis. Memang sering ada berbagai cerita yang berseliweran soal beragam pengalaman horor dari yang lain, yang paling sering itu cerita kalau ada yang mandi malam-malam atau ada yang menggedor pintu dan ternyata tak ada orang, tapi tak pernah saya alami langsung. Paling-paling cuma sleep paralysis, yang paling saya ingat ketindihan zombie cewek karena habis nonton The Walking Dead.
Pernah, ketika pulang malam-malam menuju kosan lewat kawasan Unpad, saat melewati "tanjakan cinta" dan kampus FISIP, serasa ada yang memukul tangan saya dari belakang. Saya pura-pura cuek, padahal sudah takut setengah mampus, mempercepat jalan, berdoa dan tak menoleh ke belakang. Ketika sampai kamar, saya terus berdoa agar yang tadi bikin usil enggak ikut masuk. Lokasi tadi memang agak jauh dari Jembatan Cincin, tapi bagi yang penasaran bisa cari "tanjakan cinta Unpad" dan temukan beragam kisah mistis dari hantu legendaris di Jatinangor ini. Bahkan tangan saya ciut ketika mau menuliskannya.